BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf adalah aspek ajaran Islam
yang paling penting, karena peranan tasawuf merupakan jantung atau urat nadi
pelaksanaan ajaran-ajaran Islam. Ilmu tasawuf yang merupakan salah satu cabang
ilmu yang di dalamnya mengandung
berbagai permasalahan yang menyangkut dengan aqidah dan keimanan seseorang. Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri
dalam sejarahnya, yang memunculkan pro dan
kontra baik dari kalangan muslim maupun dikalangan non muslim. Mereka yang kontra menganggap bahwa tasawuf Islam
merupakan sebuah paham yang bersumber
dari agama-agama lain dan mendapat pengaruh-pengaruh asing seperti ajaran dan budaya luar Islam, antara lain ajaran agama Hindu,
Budha, agama Persia, agama Yunani, agama
Nasrani dan lainnya dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Dalam makalah ini
kami akan mencoba memaparkan sejarah
timbulnya tasawuf unsur Yunani dan Arab serta perkembangan dan tokoh-tokohnya.
B. Rumusan Masalah
1
Apakah pengertian tasawuf?
2
Bagaimana sejarah timbulnya tasawuf (Unsur Yunani
dan Arab)?
3
Bagaimana Pertumbuhan dan perkembangan
tasawuf
C. Tujuan Penulisan
1
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak
Tasawuf
2
Untuk mengetahui pengertian Tasawuf
3
Untuk mengetahui sejarah timbulnya Tasawuf (Unsur
Yunani dan Arab)
4
Untuk mengetahui Pertumbuhan dan perkembangan
Tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf
Dalam mengajukan teori tentang
pengertian Tasawuf dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
1.
Dari segi Etimologis
Secara etimologis, pengertian dari
tasawuf terdiri dari beberapa macam sebagai berikut:
Pertama, Tasawuf berasal dari istilah yang
dikonotasikan dengan “ahlu suffah” ( اَهل
الصفة ), yang berarti
sekelompok orang pada masa Rasulullah SAW. yang hidupnya diisi dengan banyak
berdiam diserambi-serambi masjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk
beribadah kepada Allah SWT.
Kedua, ada yang mengatakan tasawuf
berasal dari kata “shafa’ ” ( الصفاء ), yang berarti orang-orang yang
mensucikan dirinya dihadapan Tuhan-Nya.
Ketiga, ada yang megatakan bahwa istilah
tasawuf berasal dari kata “shaf” ( صف ), yang dinisbatkan kepada
orang-orang yang ketika shalat berada di Shaf yang paling depan.
Keempat, ada yang mengatakan bahwa istilah
Tasawuf dinisbahkan kepada orang-orang dari Bani Shuffah.
Kelima, istilah taaswuf ada yang
menisbahkannya dengan kata istilah bahasa Grik atau Yunani, yakni “Saufi”
( سوف )yang maknanya sama dengan kata “hikmah”
( حكمة ), yang berarti kebijaksanaan.
Keenam, ada juga yang mengatakan tasawuf
itu berasal dari kata “shaufanah”, yang sebangsa buah-buahan kecil yang
berbulu-bulu, yang banyak sekali tumbuh di padang pasir di tanah Arab, dan
pakaian kaum sufi itu berbulu-bulu seperti buah itu pula, dalam
kesederhanaannya.
Ketujuh, ada juga yang mengatakan tasawuf
itu berasal dari kata “shuf” ( صوف ) yang berarti bulu domba atau wol.
Namun dari ketujuh
kata tersebut yang paling dekat maknanya dengan tasawuf adalah kata yang
ketujuh, yakni kata “shuf”, yang diakui oleh beberapa ulama, yakni
Al-Kalabadzi, Asy-Syukhrawardi, Al-Qusyairi, dan lainnya, walaupun pada
knyataannya, tidak semua kaum sufi yang memakai pakaian wol.[1]
2. Dari segi Terminologis
Pengertian tasawuf secara istilah menurut
para ahli adalah sebagai berikut:
Al Junaidi Al Baghdadi (w. 297H.) yang
menyebutkan, "Tasawuf adalah riyadhah (latihan) untuk
membersihkan jiwa dari sifat-sifat kebinatangan dan
mengisinya dengan akhlak mulia melalui pelaksanaan
ajaran agama yang benar dengan mengikuti apa yang disunnahkan Rasulullah
saw.
Menurut Syamnun ia menyatakan bahwa tasawuf adalah hendaklah engkau
memiliki sesuatu dan tidak dimiliki sesuatu.
Menurut
Jamaludin kafie, tasawuf adalah wasilah (medium) yang ditempuh
oleh seseorang mukmin melalui proses upaya dalam rangka menghakikatkan syari’at
thariqat untuk mencapai ma’rifat.
Menurut Muhammad Zaki Ibrahim tasawuf Islami
mempunyai arti membersihkan diri (takhali) dari sesuatu yang hina, dan menghiasinya
dengan sesuatu yang lebih baik untuk mencapai tingkat yang lebih dekat dengan
Allah atau sampai pada maqam yang tinggi, baik lahir maupun bathin.[2]
Pada masa Rasulullah dan
masa sebelum datangnya Islam, belum dikenal istilah tasawuf. Para ahli sejarah
sepakat munculnya istilah tasawuf pada abad kedua Hijriyah. Istilah sufi itu
sendiri baru pertama kali digunakan oleh Abu Hasyim Al-Kufi (w.250 H/780 M) seorang
zahid dari syria dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya.
Istilah Tasawuf, yang dimaknai sebagai metode penyucian jiwa berarti sama
dengan istilah Tazkiyat An-Nafs yang terdapat dalam Al-Quran. keduanya
menyajikan pelajaran yang sama seperti yang terdapat dalam asketisme (zuhd),
dan penyempurnaan Akhlak (ihsan). Semua istilah ini, dipergunakan pada
masa Rasulullah, kemudian di definisikan secara luas dan diperhalus selaras
dengan petunjuk Al-Quran dan hadits.[3]
A. Sejarah
Timbulnya Tasawuf (Unsur Yunani Dan Arab)
1.
Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani, seperti
filsafat telah masuk ke dunia Islam pada
akhir Daulah Amawiyah dan puncaknya pada masa Daulah Abbasiyah ketika berlangsungnya kegiatan penerjemahan filsafat Yunani. Penerjemah-penerjemah tersebut bukan
saja dari kalangan Islam tetapi juga
dari kalangan agama lain seperti Yahudi dan Nashrani yang sebagian mereka pada saat itu bekerja sebagai penerjemah
atau dokter atau yang lainnya di Daulah
Abbasiyah. Dengan kegiatan penerjemahan
itu, banyak buku-buku filsafat disamping buku buku
lainnya, yang dipelajari umat Islam. Hal Ini dapat diartikan sebagai
periode pengenalan umat Islam pada
metode berfikir yang filosofis.
Metode-metode berfikir filsafat ini juga turut
mempengaruhi pola fikir sebagian orang
Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Pada persoalan ini, boleh jadi
tasawuf terkena pengaruh Yunani adalah tasawuf yang diklasifikasikan sebagai tasawuf yang bercorak filsafat. Hal
ini dapat dilihat dari pikiran Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu Sina, terutama dalam
uraian tentang filsafat jiwa. Demikian juga pada uraian-uraian tasawuf dari Abu
Yazid Al-Busthami, Al-Hallaj, Ibnu Arabi, Syukhrawardi, dll.
Memang sulit dipungkiri bahwa dalam peradaban Islam
terutama pada masa dua dinasti diatas, yakni ketika tengah berlangsungnya era
penerjemahan, telah masuk faham-faham yang bersumber pada filsafat Yunani,
misalnya filsafat mistiknya Pythagoras. Dalam filsafat mistiknya kita mendapati
uraian Phytagoras yang mengatakan bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada
di dunia sebagai orang asing, jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan
roh yang sebenarnya dialami pada alam samawi, dan manusia harus membersihkan
kesenangan roh itu dengan meninggalkan hidup materi, yaitu zuhud, untuk
selanjutnya berkontemplasi. Ajaran inilah menurut pendapat sebagian orang, yang
mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam.[4]
Ada juga yag mengatakan bahwa
masuknya filsafat ke dunia islam melalui mazhab Paripatetic (lebih
banyak masuk ke dalam bentuk skolastisisme ortodoks/kalam) dan Neo-Platonisme
(masuk kepada dunia tasawuf). Ketika ajaran Neo-Platonisme ini berhasil
menyusup kedalam tasawuf, hal pertama yang terjadi adalah penolakan terhadap
keberbedaan benda-benda (ghairiyat) dari Allah. Dibawah pengaruh ajaran ini,
bukan hanya timbul penolakan terhadap “hakikat” benda-benda dan “keberadaan
benda-benda” (bid’ah dan ibahat), dari sini pula muncul klaim-klaim yang
meniadakan syariat yang dikenal dengan “Nihilisme Syariat”[5]
yang ditentang oleh Imam Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) yang bagaimanapun Nihilisme
Syariat sangat berbahaya karena dampaknya akan menyingkirkan kekuasaan
aturan Islam. Aturan islam dianggap sebagai ajaran yang tidak sempurna sehingga
ada anggapan untuk tidak mengikutinya bagi orang yang sempurna.
2.
Unsur Arab
Untuk melihat bagaimana tasawuf berasal dari
dunia Islam, pelacakan terhadap sejarah munculnya tasawuf mengingat kehadiran Islam bermula dari daratan
arab maka melacak sejarah perkembangan tasawuf, tidak hanya memperhatikan
ketika tasawuf mulai dikaji sebagai ilmu, melainkan sejak zaman Rasulullah.
Memang pada masa Rasulullah dan masa datangnya
agama Islam, istilah tasawuf itu belum ada. Akan tetapi, tidak dapat disangkal
lagi bahwa hidup seperti yang digambarkan dalam kalangan ahli-ahli sufi itu
sudah ditemukan, baik pada diri Nabi Muhammad sendiri maupun pada diri sahabatnya.
Sikap zuhud, misalnya, telah banyak ditananamkan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya dalam keseharian beliau.
Kalau
dilihat sejarahnya, hidup zuhud telah ada sebelum munculnya Islam di tanah Arab.
Oleh sebab itu untuk melihat sejarah tasawuf, perlu ditinjau perkembangan peradaban
Islam sejak zaman Rasulullah. Hal ini karena pada hakekatnya kehidupan rohani
telah ada pada diri beliau sebagai panutan agama. Kesederhanaan hidup dan upayanya
menghindari bentuk kemewahan sudah tumbuh sejak Islam datang. Ini tergambar dalam kehidupan Rasulullah dan para
sahabatnya yang berada dalam suasana kesederhanaan. Dengan demikian, pada abad
pertama Hijriyah, orang Islam belum mengenal istilah tasawuf dan yang ada
hanyalah benih-benih kezuhudan yang sudah ada sejak dalam kehidupan Rasulullah
SAW.
Sikap-sikap
Rasulullah dan para sahabat ini kemudian dipraktekkan pula oleh kaum sufi
berikutnya. Para Tabi’in merupakan perintis dalam usaha sendiri-sendiri untuk
mendekatkan diri kepada Allah tanpa melepaskan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai
pokok syari’at Islam.
C. Pertumbuhan
dan Perkembangan Tasawuf Dalam Islam
Pertumbuhan
Tasawuf Jauh
sebelum lahirnya agama islam, memang sudah ada ahli Mistik yang menghabiskan
masa hidupnya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya; antara lain terdapat
pada India Kuno yang beragama Hindu maupun Budha. Orang-orang mistik tersebut
dinamakan Gymnosophists oleh penulis barat dan disebut Al-hukama’ul Uroh oleh
penulis Arab. Yang dapat diartikan sebagai orang-orang bijaksana yang
berpakaian terbuka. Hal tersebut dimaksudkan, karena ahli-ahli mistik
orang-orang India selalu berpakaian dengan menutup separuh badannya.
Selanjutnya dapat
dikemukakan beberapa nash yang mengandung ajaran tasawuf yaitu:
1) Nash-nash
al-qur’an, antara lain QS; Al-Ahzab ayat 41-42 yang artinya: : “ Hai
orang-orang yang beriman berdzikirlah dengan menyebut nama Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya
di waktu pagi dan petang”.
2) Nash-nash hadits
yang antara lain artinya berbunyi; ”Bersabda Rasulullah saw: Takutilah
firasat orang-orang mu’min, karena ia dapat memandang dengan nur (petunjuk
Allah). “ H.R.Bukhari yang bersumber dari Abi Sa’id Al-Khudriyyi.
Kehidupan Rasulullah
saw yang menggambarkan kehidupan sebagai sufi yang sangat sederhana, karena
beliau menjauhkan dirinya dari kehidupan mewah, yang sebenarnya merupakan
amalan zuhud dalam ajaran Tasawuf.
1. Perkembangan
Tasawuf Beserta Tokoh-Tokohnya
a. Pada Abad Pertama
dan Kedua Hijriyah
1) Perkembangan tasawuf
pada masa sahabat Para sahabat juga
mencontohi kehidupan Rasulullah yang serba sederhana, dimana hidupnya hanya
semata-mata diabadikan kepada tuhannya.
Beberapa sahabat yang tergolong sufi di abad
pertama, dan berfungsi sebagai maha guru bagi pendatang dari luar kota Madinah,
yang tertarik kepada kehidupan shufi, para sahabat-sahabat tersebut antara
lain, Al-Khulafa Ar-Rasyidun, Salman Al-Farisiy, Abu Dzar Al-Ghifary, Ammar bin
Yasir, Huzaidah bin Al-Yaman, dan Niqdad bin Aswad.
2) Perkembangan
tasawuf pada masa tabi’in Ulama-ulama sufi dari
kalangan tabi’in adalah murid dari ulama-ulama sufi dari kalangan shahabat.
Kalau berbicara tasawuf dan perkembangannya pada abad pertama, dengan
mengemukakan tokoh-tokohnya dari kalangan sahabat, maka pembicaraan
perkembangan tasawuf pada abad kedua dengan tokoh-tokohnya pula. Tokoh-tokoh
ulama sufi Tabi’in antara lain; Al-Hasan Al-Bashry, Rabi’ah Al-Adawiyah, Sufyan
bin sa’id Ats-Tsaury, Daud Ath-Thaiy, dan Syaqieq Al-Balkhiy.
b. Pada Abad Ketiga
dan Keempat Hijriyah.
1) Perkembangan
tasawuf pada abad ketiga hijriyah sudah pesat, hal ini ditandai dengan adanya
segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran tasawuf yang
berkembang pada masa itu, sehingga mereka membaginya ke dalam tiga macam,
yakni; Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, ilmu akhlaq dan Metafisika.
Tokoh-tokoh sufi pada masa ini diantaranya; Abu Sulaiman Ad-Darany, Ahmad bin
Al-Hawary Ad-Damasqiy, Abul Faidh Dzun Nun bin Ibrahim Al-Mishry, Abu Yazid
Al-Bushthamy, Junaid Al-Baghdady, dan Al-Hallaj.
2) Perkembangan tasawuf
pada abad Keempat Hijriyah ditandai dengan kemajuan
ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan sebelumnya, karena usaha maksimal
para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Sehingga
kota Baghdad yang hanya satu-satunya kota yang terkenal sebagai pusat kegiatan
tasawuf yang paling besar dikota itu, tersaingi oleh kota-kota yang lainnya.
Upaya untuk mengembangkan ajaran tasawuf diluar kota Baghdad dipelopori oleh
tokoh sufi yang terkenal kealimannya, antara lain; Musa Al-Anshary; mengajarkan
Ilmu Tasawuf di Khurasan (Persia/Iran), Abu Hamid bin Muhammad Ar-Rubazy;
megajarkannya disalah satu kota di Mesir, Abu Zaid Al-Adamy; mengajarkannya di
semenanjung Arabiyah, Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab As-Saqafy;
mengajarkannya di Nasaibur dan kota syaraz.
c. Pada Abad Kelima
Hijriyah
Disamping adanya
pertentangan yang turun temurun antara Ulama sufi dengan ulama Fiqih, maka pada
abad kelima ini, keadaan semakin rawan ketika berkembangnya mahzab Syi’ah
ismaa’iliyah; yaitu suatu mahzab yang hendak mengembalikan kekuasaan
pemerintahan kepada keturunan Ali bin Abi Thalib. Karena menganggapnya bahwa
dunia ini harus diatur oleh imam, karena dialah yang langsung menerima petunjuk
dari Rasulullah saw.
Menurut mereka ada 12 imam yang
berhak mengatur dunia ini yang disebut sebagai imam Mahdi, yang akan menjelma
ke dunia dengan membawa keadilan dan memurnikan agama islam. Kedua belas imam
itu adalah:
·
Ali bin Abi Thalib
·
Hasan bin Ali
·
Husein bin Ali
·
Ali bin Husein
·
Muhammad Al-Baakir bin Ali
bin Husein
·
Ja’far shadiq bin Muhammad
Al Baakir
·
Musa Al-Kazhim bin Ja’far
Shadiq
·
Ali Ridhaa bin Kazhim
·
Muhammad Jawwad bin Ali
Ridha
·
Ali Al-Haadi bin Jawwaad
·
Hasan Askary bin Al-Haadi
·
Muhammad bin Hasan Al-Mahdi[6]
d. Pada abad keenam,
ketujuh dan kedelapan Hijriyyah
1) Perkembangan tasawuf
pada abad keenam Hijriyah; para ulama yang sangat berpengaruh pada zaman ini
adalah Syihabuddin Abul Futu As-Suhrawardy, dan Al-Ghaznawy (w. 545 H/1151 M).
2) Perkembangan tasawuf
pada abad ketujuh Hijriyah; ada beberapa ahli tasawuf yang berpengaruh di abad
ini diantaranya; Umar Ibnul Faridh, Ibnu Sabi’in, dan Jalaluddin Ar-Rumy.
3) Perkembangan tasawuf
pada abad kedelapan Hijriyah; pada abad ini, tidak terdengar lagi perkembangan
dan pemikiran baru dalam Tasawuf, meski banyak pengarang kaum sufi yang
mengemukakan pemikirannya tentang Ilmu Tasawuf, namun kurang mendapat perhatian
yang sungguh-sungguh dari umat Islam. Sengga nasib ajaran Tasawuf hampir sama
dengan abad ketujuh Hijriyah. Pengarang-pengarang kitab pada abad ini, antara
lain:
1) Al-kisany; wafat tahun 793 H/1321
M.
2) Abdul Karim Al-Jily; pengarang
kitab “Al-Insanul Kamil”
e. Pada abad
kesembilan, kesepuluh Hijriyah dan sesudahnya.
Dalam beberapa
abad ini, betul-betul ajaran tasawuf sangat sunyi di dunia islam, artinya
nasibnya lebih buruk lagi dari keadaannya pada abad keenam, ketujuh dan
kedelapan Hijriyyah. Factor yang menyebabkan runtuhnya ajaran tasawuf ini antara
lain; ahli tasawuf sudah kehilangan kepercayaan di kalangan masyarakat islam.
Serta adanya penjajah bangsa eropa yang beragama Nasrani yang menguasai seluruh
negeri islam. Meskipun ajaran Tasawuf menyedihkan dalam empat abad diatas,
masih terlihat adanya Ahli Tasawuf yang memunculkan ajarannya, dengan mengarang
kitab-kitab yang memuat Tasawuf, antara lain:
1) Abdul Wahhab
Asy-Sya’rany (w. 973 H/1565 M), mengarang kitab “Al-Lathaiful Minan” (Kehalusan
Hati);
2) Abul Abbas Ahmad
bin Muhammad bin Mukhtar At-Tijany (w. 1230 H/1815 M), ia sebagai pendiri
Tarikat Tijani;
3) Sidi Muhammad bin
Ali As-Sanusy, sebagai pendiri Tarikat Sanusiyah;
4) As-Syekh Muhammad
Amin Al-Kurdi (w.1332 H/1914 M), pengarang kitab “Tanwirul Qulub Fi Muamalah
‘Allamil Ghuyub”, beliau termasuk pengikut Tarikat Naqsyabandiyah.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan
dari definisi-definisi yang dikemukakan para tokoh tentang Tasawuf, bahwa
tasawuf adalah upaya atau jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui
proses dan cara-cara tertentu agar mendapatkan kebahagian batin sehingga
menghiasi diri dengan akhlakul karimah. Orang yang bertasawuf disebut sebagai
sufi.
Tasawuf
Islam itu benar-benar murni berasal dari tubuh Islam itu sendiri yang bersumber
dari Alquran dan Hadis Nabi. Kita harus cermat, dan obyektif memandang suatu
pengetahuan sehingga tidak terjadi salah paham yang dapat menyesatkan.
Mempelajari
tasawuf memiliki banyak manfaat diantaranya di zaman yang modern saat ini
Tasawuf dapat menyejukan hati, menentramkan jiwa dan menemukan makna hidup yang
sesungguhnya ditengah pergumulan hidup sehari-hari. Buah dari tasawuf adalah
akhlak yang mulia dan peningkatan iman sehingga kita dapat lebih dekat dengan
Allah SWT dan dapat menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat.
Imam
malik berkata:
ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق ومن تصوف ولم
يتفقه فقد تزندق ومن تفقه وتصوف فقد توفق
“Barangsiapa yang
yang berilmu fiqih, tanpa tasawuf, dia akan fasik; dan barangsiapa bertasawuf
tanpa ilmu fiqih, dia akan kafir zindiq; dan barangsiapa berilmu fiqih dan
bertasawuf, dialah yang tepat”
B. SARAN
Kami menyadari bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan, oleh karena itu kami menyarankan kepada teman-teman sesama
mahasiswa untuk mencari informasi lain sebagai tambahan dari apa yang telah
kami uraikan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon dan Mukhtar
Solihin. Ilmu Tasawuf. Pustaka Setia. Bandung. 2004.
Mustofa, H. A. Akhlak Tasawuf.
Pustaka Setia. Bandung. 2005.
Syekh Muhammad Hisyam Kabbani. Tasawuf
Dan Ihsan. Serambi Ilmu Semesta. Jakarta. 2007.
Muhammad Sariyansyah.
Sejarah Ilmu Tasawuf dan Perkembangannya. http://islaminstituthere.blogspot.co.id/2014/10/sejarah-ilmu-tasawuf-perkembangannya.html
[1]Rosihon
Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, ( Bandung: CV.Pustaka
Setia,2004), hlm.9-10
[2]Muhammad Sariyansyah, Sejarah Ilmu Tasawuf
dan Perkembangannya, (http://islaminstituthere.blogspot.co.id/2014/10/sejarah-ilmu-tasawuf-perkembangannya.html), Di akses pada tanggal 2.oktober.2014.
[3] Syekh
Muhammad Hisyam Kabbani, Taswuf Dan Ihsan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2007), hlm. 24
[4] Rosihon
Anwar dan Mukhtar Shalihin, Op.Cit hlm.34
[5] Paham
yang dibawa oleh sebagian kaum sufi yang merasa tidak memerlukan syariat lagi.
Bagi mereka, syariat diperuntukkan bagi orang awam yang jauh dari Tuhan.
Sedangkan kaum sufi merasa jiwanya sudah suci dan dekat dengan Tuhan (ibid,
hlm.37)
[6] H.A.
Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia, 2005), hlm. 227
Tidak ada komentar:
Posting Komentar